Opini  

Perubahan Aspek Kefarmasian dalam Pengesahan UU No 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan, Akankah Menguntungkan?

Alya Naura Tifania Ayu

Oleh: Alya Naura Tifania Ayu, Program Studi Farmasi, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Malang

MEMOX.CO.ID – Pengesahan UU No 17 tahun 2023 tentang kesehatan telah disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 pada paripurna DPR RI dalam masa persidangan V tahun sidang 2022-2023. Pengesahan UU tentang kesehatan mengundang banyak perhatian dari kalangan masyarakat, karena undang-undang ini merupakan UU pertama yang disusun secara omnisbuslaw, dimana isinya lebih komprehensif terkait kesehatan. Pernyataan ini disampaikan oleh Dita Novianti sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Namun, tujuan dari pengesahan UU tentang kesehatan ialah pemerintah hanya ingin melakukan pembaharuan dalam meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat Indonesia lebih baik dan merata.

UU 17 tahun 2023 tentang kesehatan merupakan Penguat Kewenangan Apoteker dalam Upaya Kesehatan Masyarakat. Pasal 320 tentang penggolongan obat merupakan “RUH” praktek keapotekeran yang mandiri. Ayat (5) pasal 320 beserta penjelasannya merupakan lompatan pelayanan keapotekeran di Indonesia sejajar dengan negara maju.

Pengesahan UU tentang kesehatan memperhatikan keberlangsungan pelayanan kesehatan termasuk pelayanan kefarmasian. Adanya perubahan UU sangat menguntungkan pada aspek kefarmasian bagi apoteker, pelayanan kefarmasian di Indonesia, serta segala bentuk perizinan. Pada pengesehan UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, ada beberapa poin yang disempurnakan dan terkait kefarmasian dalam Undang-undang yaitu :

1. Fokus pengobatan menjadi pencegahan.

Pemerintah sepakat dengan DPR RI untuk mengedepankan layanan promotif (edukasi kesehatan) dan preventif (upaya pencegahan) pada layanan primer berdasarkan siklus hidup manusia itu. Pentingnya standardisasi jejaring layanan primer dan laboratorium kesehatan masyarakat hingga ke pelosok Indonesia. Tidak hanya itu, pemerintah ingin adanya pemerataan di daerah yang masih kekurangan medis dan farmasi. Sehingga layanan mengenai pengobatan untuk penduduk desa tidak perlu pergi ke kota untuk berobat.

2. Dari Industri kesehatan yang bergantung ke luar negeri menjadi mandiri.

Pemerintah juga mengupayakan adanya penguatan ketahanan kefarmasian dan alat kesehatan melalui esilience rantai pasok dari hulu ke hilir. Contohnya dengan memprioritaskan penggunaan bahan baku dan produk sediaan farmasi dalam negeri, serta pemberian insentif kepada industri yang melakukan penelitian, pengembangan, dan produksi di dalam negeri. Menjamin ketentuan tersebut, pemerintah mengharuskan obat generik International Nonproprietary Name (INN) yang dipasarkan di Indonesia hanya boleh dibuat oleh industri farmasi dalam negeri. Pemerintah juga memilki hak untuk mengendalikan dan menetapkan harga obat yang beredar secara nasional. Serta menyusun daftar obat esensial yang harus tersedia bagi kepentingan masyarakat secara merata dan terjangkau ketersediaannya.

3. Dari perizinan yang rumit dan lama menjadi mudah dan cepat.

Pemerintah ingin memangkas proses perizinan melalui penertiban STR (Surat Tanda Registrasi) termasuk untuk apoteker, yang pembuatannya berlaku untuk seumur hidup dengan kualitas dan terjaga. Dimasukan agar pengurusan surat izin praktik, baik itu dokter, perawat, dan apoteker, bisa didapatkan cukup dengan memilki STR/STRA, alamat praktik, dan bukti pemenuhan kompetensi.  (Pasal 235 Ayat 1 UU Kesehatan). Sehingga keputusan diberikan atau tidaknya izin praktik tenaga kesehatan (termasuk apoteker) akan ditentukan oleh pemerintah melalui Kementerian Kesehatan. Hal ini dilakukan untuk menyederhanakan proses perizinan dan memangkas biaya yang dibutuhkan.

Adanya penegesahan UU No 17 Tahun 2023 dimaksudkan membawa dampak dan perubahan bagi kualitas pelayanan kesehatan termasuk pelayanan kefarmasian di Indonesia. Melalui UU Kesehatan ini, diharapkan memberi keuntungan tambahan bagi pelayanan kefarmasian di Indonesia. Dampak yang mungkin diperoleh ialah penyebaran apoteker yang lebih merata. Menurut data Kementerian Kesehatan yang dilansir dari databoks.katadata.co.id, tenaga kesehatan di Indonesia mencapai 1,4 juta orang pada 2022

Dari jumlah tersebut, profesi apoteker ada sebanyak 121.629. Harapannya dengan semakin dipermudah mendapat izin praktek, jumlah apoteker di Indonesia juga ikut bertambah. Diikuti oleh penyebaran yang merata. Apotek beserta apoteker yang bertanggung jawab, diharapkan tidak hanya membuka usahanya atau praktiknya di perkotaan, namun juga daerah-daerah yang masih jarang terdapat apotek dan apoteker.

Selain itu dampak yang mungkin dirasakan adanya proses memperoleh praktik (SIPA) lebih cepat. Membuat Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA) diperoleh tanpa surat rekomendasi dari organisasi profesi dimana akan menjadi satu pintu melalui pemerintah (Kementrian Kesehatan) dan memangkas biaya jauh lebih murah. Apalagi STRA (Surat Tanda Registrasi Apoteker) akan berlaku seumur hidup, sehingga tidak perlu repot memperpanjangnya setiap lima tahun. Regulasi yang mempermudah apoteker untuk mendapat izin praktik. Selain itu, kemudahan dalam proses pembuatan izin praktik ini diharapkan dapat memberikan efek domino bagi kefarmasian. Harapannya semakin mudah dalam perizin SIPA bagi apoteker maka semakin banyak pertumbuhan jumlah apotek di Indonesia.

Bagi Tenaga Ahli Kefarmasian UU Kesehatan baru sangat menguntungkan bahwasannya pemerintah mendukung penciptaan obat dalam negeri. RUU Kesehatan terbaru juga mengupayakan kemandirian alat kesehatan mandiri, termasuk penggunaan bahan baku dan produk dalam negeri. Pemerintah akan membuka jalur lebih luas pada penelitian, pengembangan, dan produksi obat dalam negeri. UU Kesehatan baru juga akan mengupayakan penguatan pelayanan kesehatan dengan memenuhi infrastruktur SDM, sarana prasarana, telemedisin, pengembangan jejaring layanan prioritas, serta layanan nasional berstandar internasional. Penguatan pelayanan kesehatan juga mengacu pada kinerja tenaga kefarmasian di Indonesia. Harapannya para Apoteker dapat memberi edukasi pengobatan, pembuatan obat berstandar, dan prosedur pengembangan obat yang baik untuk masyarakat. Sehingga Apoteker dalam negeri tidak kalah bersaing dengan Apoteker di luar negeri.

Berdasarkan artikel tersebut, pengesahan UU No 17 tahun 2023 tentang kesehatan dalam bidang pelayanan kefarmasian terdapat perubahan. Perubahan yang termuat diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi peningkatan kesehatan masyarakat Indonesia dalam bidang pelayanan kefarmasian. Pemerataan pelayanan kesehatan juga diupayakan agar masyarakat mudah untuk mengakses seperti pelayanan farmasi di pelosok daerah. Selain itu, mengupayakan penelitian, pengembangan, dan pemasaran obat-obatan hasil produksi dalam negeri. Sehingga, kedepannya dapat membangun perekonomian di bidang kesehatan dan tidak bergantung dengan negara lain. (*)