MEMOX.CO.ID – Pemerintah membuka lagi keran ekspor pasir laut setelah Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Namun, kebijakan ini menuai kritik dari sejumlah pihak. Pembukaan keran ekspor pasir laut dinilai sebagai langkah mundur karena sangat berisiko merusak lingkungan.
Di masa lalu, ekspor pasir laut secara legal pernah dilakukan Pemerintah. Hanya saja, minimnya pengawasan membuat ekspor pasir ilegal lebih banyak daripada yang legal.
Akhirnya, ekspor pasir laut dihentikan melalui Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut.
Aturan ini melarang eksploitasi pasir laut ataupun pemanfaatan sedimentasi hasil keruk. Alasannya, eksploitasi alam tersebut dinilai membawa kerusakan lingkungan.
Lantas, apa dampak dari dibuka kembalinya ekspor pasir laut?
Dampak ekologis tambang pasir laut, pengamat ekonomi dan energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi mendorong pemerintah menyetop kebijakan ekspor pasir laut.
Fahmy mengatakan, ekspor pasir laut akan memicu dampak buruk terhadap kerusakan lingkungan dan ekologi laut.
“Itu bisa menyebabkan tenggelamnya pulau kecil yang membahayakan bagi rakyat di pesisir pantai, dan meminggirkan nelayan yang tidak dapat melaut lagi.
Selain itu, kebijakan ekspor pasir laut dirasa tidak tepat jika dilakukan untuk menambah pendapatan negara,” ujarnya.
Fahmy menambahkan, Kementerian Keuangan mengaku selama ini penerimaan negara yang kecil dari hasil ekspor laut, termasuk pasir laut.
“Sedangkan biaya yang harus dikeluarkan untuk ekspor pasir laut jauh lebih besar ketimbang pendapatan yang diperoleh, sehingga ekspor pasir laut itu tidak layak,” terangnya.
Pengalaman penambangan pasir laut di Indonesia telah mengakibatkan kerugian ekonomi dan kerusakan lingkungan secara nyata.
Pasir dari perairan Batam dan Karimun, Kepulauan Riau, dikeruk untuk reklamasi Singapura. Volume pasir yang diekspor ke Singapura lebih kurang 250 juta meter kubik per tahun.
Volume ekspor pasir laut dari Karimun pada 2002 mencapai 36 juta meter kubik per tahun. Namun, pendapatan daerah dari kegiatan tambang itu hanya Rp 50 miliar di tahun yang sama.
Saat itu, pemerintah menduga ada kebocoran ekspor pasir laut secara ilegal 300 juta meter kubik per tahun, menyebabkan Indonesia rugi Rp 2,7 triliun per tahun.
Selain kerugian ekonomi, penambangan pasir laut juga membawa dampak nyata pada kerusakan lingkungan.
Di pesisir Kepulauan Riau, salah satu sumber penambangan pasir laut, mengalami abrasi. Ini mengakibatkan hasil tangkapannya nelayan merosot.
Pengerukan pasir secara besar-besaran untuk diekspor ke Singapura juga hampir membuat Pulau Nipa di Batam tenggelam karena abrasi.
Beberapa dampak kerusakan lingkungan akibat tambang pasir laut meliputi:
- Kerusakan lingkungan serius berupa tenggelamnya pulau-pulau kecil, khususnya di sekitar daerah terluar dari batas wilayah Indonesia.
- Menyebabkan sejumlah daerah mengalami kerusakan, di mana tanah di pulau-pulau kecil merosot ke laut.
- Mengganggu aktivitas nelayan karena membuat dasar perairan hancur.
- Lumpur sisa produksi tambang atau tailing bisa terbawa arus dan mencemari perairan yang jaraknya puluhan mil dari lokasi tambang.
- Tailing menutupi terumbu karang dan membuat ikan serta hewan laut lain menjauh. Akibatnya, nelayan harus memburu ikan lebih jauh lagi yang berimplikasi pada biaya bahan bakar dan waktu yang lebih panjang.
Sejumlah pihak mengkhawatirkan kebijakan yang membuka kembali keran ekspor pasir laut akan mengulang mimpi buruk nelayan dan masyarakat pesisir di sejumlah tempat. (*/cdp/mzm)