Opini  

Peran Apoteker dalam Self Medication

Suci Mardiana Sari, NIM: 202410410110046. KELAS: Farmasi A
Suci Mardiana Sari, NIM: 202410410110046. KELAS: Farmasi A

NAMA: Suci Mardiana Sari, NIM: 202410410110046. KELAS: Farmasi A

MEMOX.CO.ID – Self medication atau swamedikasi merupakan upaya masyarakat untuk mengobati dirinya sendiri (Departemen Kesehatan RI, 2006). WHO mendefinisikan swamedikasi sebagai pemilihan dan penggunaan obat modern, herbal, maupun obat tradisional oleh seorang individu untuk mengatasi penyakit atau gejala penyakit (WHO, 1998). Seiring perkembangan zaman, pelaksanaan swamedikasi semakin banyak dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat, tidak hanya di kalangan akademisi.

Pengetahuan masyarakat tentang hidup sehat dan berbagai macam penyakit serta iklan dari media menjadi faktor meningkatnya praktik swamedikasi (Osemene & Lamikanra, 2012). Peningkatan praktik swamedikasi perlu mendapat perhatian dan evaluasi karena upaya swamedikasi memungkinkan terjadinya kesalahan pengobatan. Salah satu penyebabnya adalah keterbatasan pengetahuan masyarakat tentang obat bebas dan penggunaannya, walaupun masyarakat dapat mengakses informasi tentang pengobatan secara bebas. Masalah yang sering terjadi pada praktik swamedikasi adalah dosis yang berlebihan, durasi pemakaian obat, adanya interaksi obat, dan sebagainya.

Swamedikasi yang tidak rasional (tepat diagnosis, tepat obat, tepat indikasi, tepat dosis), dapat menyebabkan resistensi terhadap bakteri serta meningkatnya morbiditas (Osemene & Lamikanra, 2012). Apoteker memiliki peran dan tanggungjawab yang besar pada pelaksanaan swamedikasi sebagai sumber informasi bagi masyarakat. Apoteker diharapkan memberikan pelayanan swamedikasi yang sesuai untuk menjamin keamanan dan keefektifan penggunaan obat bebas serta mencegah kesalahan pengobatan pada pelaksanaan swamedikasi. Apoteker, tersedia secara luas dan sumber daya kesehatan yang mudah diakses, ditempatkan secara ideal untuk menghadapi tantangan kebutuhan konsumen yang terus berkembang dan bersifat global pada sistem kesehatan.

Sebagai tambahan menyediakan perawatan yang diresepkan oleh dokter, apoteker dapat berperan sebagai mitra integral dalam tim perawatan kolaboratif. Apoteker juga terlibat dalam bidang Kesehatan promosi dengan menyaring, dan meningkatkan kesadaran, kondisi tertentu dan mendiskusikan strategi seperti membuat sehat pilihan gaya hidup untuk mencegah masalah kesehatan tertentu. Pengobatan sendiri adalah komponen kunci dari perawatan diri. Apoteker memberikan sesuatu yang berharga berupa informasi untuk memastikan bahwa konsumen menerima perawatan yang sesuai untuk diberikan kepada pasien. Yang terpenting, pandangan konsumen kepada apoteker adalah sebagai sumber terpercaya untuk menyediakan informasi tentang perawatan kesehatan pasien.

Kapan memilih obat tanpa resep, pasien melaporkan bahwa saran dari apoteker adalah salah satu yang paling penting faktor dalam membuat keputusan pasien. Meskipun apoteker bisa menjadi poin pertama kontak untuk beberapa konsumen layanan kesehatan, mereka adalah sumber daya yang relatif kurang dimanfaatkan. Potensi manfaat konsultasi apoteker pada awalnya memasukkan lebih banyak akses langsung dibandingkan harus menunggu dokter umum dan membuat janji temu, serta mengurangi waktu perjalanan dan biaya terkait perawatan kesehatan.

Sebagai salah satu penyedia layanan kesehatan, apoteker memiliki peran dan tanggungjawab yang besar pada swamedikasi. Peran dan tanggungjawab apoteker ini didasarkan pada filosofi Pharmaceutical Care, dimana kegiatan apoteker yang sebelumnya berorientasi pada obat menjadi berorientasi pada pasien. terdapat definisi Pharmaceutical Care, yaitu tanggung jawab farmasis dalam hal farmakoterapi dengan tujuan untuk mencapai keluaran yang dapat meningkatkan kualitas hidup pasien .

Maka tanggungjawab apoteker adalah mengidentifikasi, memecahkan, dan mencegah terjadinya masalah yang berhubungan dengan obat (drug related problems), sehingga dapat tercapai keluaran terapi yang optimal. Tanggung jawab ini tidak hanya muncul pada pelayanan resep namun juga pada swamedikasi. Secara lebih spesifik, tanggungjawab apoteker terhadap perilaku swamedikasi masyarakat telah dirumuskan dalam suatu kesepakatan bersama. Dalam kesepakatan tersebut dikatakan bahwa tanggung jawab apoteker dalam swamedikasi adalah memberikan saran dan mendampingi pasien dalam pemilihan obat, menginformasikan efek samping yang muncul kepada industri farmasi, menyarankan rujukan kepada dokter, dan memberitahukan cara penyimpanan obat yang benar (FIP, 1999).

Sebagai komunikator, salah satu tugas yang harus dilakukan oleh apoteker adalah memberikan informasi yang obyektif tentang obat kepada pasien agar pasien dapat menggunakan obat secara rasional (WHO, 1998). Informasi yang seharusnya diberikan oleh apoteker meliputi informasi mengenai bentuk sediaan obat, efek terapi, cara penggunaan, dosis, frekuensi penggunaan, dosis maksimum, lama penggunaan, efek samping yang mungkin timbul dan memerlukan penanganan dokter, obat lain, makanan dan aktivitas yang harus dihindari selama penggunaan obat, penyimpanan obat, hal-hal yang harus dilakukan apabila lupa meminum obat, pembuangan obat yang telah kadaluarsa, dan tujuan penggunaan obat (WHO, 1998; Jepson, 1990; Rudd, 1983).

Apabila peran dan tanggungjawab ini dijalankan dengan benar oleh apoteker, maka akan membentuk suatu penilaian di mata masyarakat. Penilaian tersebut salah satunya ada dalam bentuk kepuasan. Tingkat kepuasan dapat pula dijadikan sebagai indikator yang digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan, seperti yang tercantum pada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1027/Menkes/SK/IX/ 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (Depkes RI, 2004). Pemberian informasi obat, baik dalam pelayanan resep maupun pelayanan swamedikasi adalah hal yang sangat penting untuk memastikan pasien menggunakan obat dengan benar sehingga tujuan pengobatan yaitu kesembuhan pasien dapat tercapai.

Pada pelayanan swamedikasi, tanggung jawab pemberian informasi ini menjadi bertambah karena pasien melakukan pengobatan tanpa intervensi tenaga medis atau dokter. Dalam memberikan informasi tentang cara penyimpanan obat, aktifitas yang harus dikurangi pada saat minum obat, obat lain yang harus dihindari, makanan yang harus dihindari dan saran untuk konsultasi ke dokter apabila diperlukan, petugas memberikan informasi sebelum pasien bertanya, mengkonfirmasi kembali tentang kejelasan informasi yang diberikan, memberikan kesempatan bertanya jika ada yang kurang dimengerti, serta tersedia area untuk pemberian informasi obat.

 Hal-hal tersebut penting dilakukan oleh apoteker untuk menjamin kebenaran penggunaan obat oleh pasien, namun pasien menganggap hal-hal tersebut tidak penting. Hal tersebut menunjukkan bahwa hal-hal yang dianggap penting oleh apoteker belum tentu penting bagi pasien. Kurangnya edukasi tentang obat dapat menjadi salah satu faktor yang berperan. Karena itu peran apoteker untuk meningkatkan kinerja pada faktor-faktor tersebut harus dilakukan agar pasien merasakan manfaat yang sebenarnya. Apoteker sebagai orang yang bertanggung jawab pada pemberian informasi di apotek dan orang yang paling berkompeten untuk memberikan informasi harus meningkatkan kinerjanya, sebab keseluruhan hal diatas adalah tanggung jawab apoteker yang telah diatur oleh WHO maupun FIP (WHO, 1998; FIP, 1999). (Sm).