Kepatuhan dalam Pengobatan TBC Melawan Resistensi

Ft: Binta Sania Maulidya, S1 Farmasi, Universitas Muhammadiyah Malang.
Ft: Binta Sania Maulidya, S1 Farmasi, Universitas Muhammadiyah Malang.

Binta Sania Maulidya, S1 Farmasi, Universitas Muhammadiyah Malang

MEMOX.CO.ID – Tuberkolosis merupakan penyakit saluran pernafasan yang menular langsung ke paru-paru disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang memiliki potensi besar untuk disembuhakan namun memerlukan pengobatan jangka panjang dan pengobatannya harus dilakukan secara tepat dan teratur. Pengobatan TBC biasanya berlangsung selama 6-12 bulan, tergantung pada kondisi pasien. Kepatuhan pengobatan menjadi kunci utama dalam mencegah resistensi obat. Apabila berhenti minum obat sebelum waktunya, batuk yang sudah hilang akan kembali, kambuh dan kemungkinan kuman akan kebal (resistensi) terhadap jenis obat tersebut (Nova, 2007).

Ada dua cara yang bisa dilakukan untuk mengurangi penderita TB, yaitu terapi dan imunisasi BCG. Untuk terapi, WHO merekomendasikan strategi penyembuhan TB jangka pendek dengan pengawasan langsung atau dengan istilah DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse). Dalam strategi ini terdapat tiga tahapan penting yaitu mendeteksi pasien, melakukan pengobatan, dan melakukan pengawasan langsung.

John Crofton (2002) berpendapat bahwa salah satu faktor penyebab terjadinya TBC adalah kurangnya pengetahuan penderita, keluarga dan masyarakat tentang penyakit TBC, kerbesihan lingkungan tempat tinggal yang padat penghuni dan tidak memenuhi kriteria rumah sehat maka dapat memicu banyaknya masyarakat yang tertular TBC. Gejala yang ditimbulkan berupa gejala respiratorik seperti batuk berdarah, sesak nafas dan nyeri dada. Namun terkadang muncul gejala sistematik seperti penurunan berat badan, malaise dan suhu badan meningkat.

Besar angka ketidakpatuhan berobat akan mengakibatkan tingginya angka kegagalan pengobatan TBC dan menyebabkan makin banyak ditemukan penderita TBC dengan BTA yang resisten dengan pengobatan standar (Hutapea TP, 2009).

Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, serta menurunkan tingkat penularan. Pengobatan tuberkulosis dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) standar jangka panjang yang mempunyai tujuan supaya angka kesakitan dan angka kematian.

Dapat menurun dengan cara memutuskan rantai penularan, sedangkan jangka pendek untuk tercapainya angka kesembuhan dan mencegah terjadinya resisten.

Pengobatan yang teratur salah satunya akan mengalami kenaikan berat badan sebagai respon positif terhadap keberhasilan pengobatan TBC. Pengobatan TBC memerlukan waktu cukup lama, yakni enam bulan secara terus menerus (teratur) dengan OAT dan harus dilakukan dengan tuntas sampai sembuh sehingga dapat mencegah penularan pada orang lain (Depkes, 2006). Menurut Imran (Jakarta, 2024) kasus di Indonesia meningkat tinggi pada 2023 dan penderita TB sebanyak 820.789 kasus yang ditemukan dari estimasi 1.060.000 kasus.

Pengobatan dilakukan dengan obat OAT kombinasi tetap dosis (KDT) dengan jangka panjang yang terdiri dari dua tahap, yaitu fase intensif dan fase lanjutan. Pada fase intensif dilakukan selama dua bulan pertama dengan kaplet berwarna merah berisi 4 macam kandungan obat yaitu Isoniazid, Rifampicin, Pirazinamid, dan Ethambutol. Sedangkan fase lanjutan dilakukan selama empat bulan dengan kaplet berwarna kuning obatnya berisi Isoniazid dan Rifampicin. Program Nasional penanggulangan tuberkulosis di Indonesia menggunakan panduan obat anti tuberkulosis menurut WHO tahun 1993:

Kategori 1 (2RHZE/4H3R3)

  • Obat ini diberikan untuk penderita tuberkulosis paru BTA positif, penderita TB paru BTA negatif tetapi rontgen positif dan ekstra paru berat.

    Tahap intensif terdiri dari Isoniazid, Rifampicin, Pirazinamid, dan Ethambutol. Obat ini diminum selama 2 bulan (2HRZE). Kemudian dilanjutkan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniazid, Rifampicin yang diberikan 3 kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3).

    • Kategori 2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)

    Obat kategori 2 ini diberikan untuk penderita kambuh, gagal dan penderita dengan pengobatan setelah lalai. Tahap intensif ini diberikan selama 3 bulan yang terdiri dari 2 bulan dengan Isoniazid, Rifampicin, Pirazinamid, Ethambutol dan suntikan streptomisin setiap hari di UPK. Dilanjutkan 1 bulan dengan Isoniazid, Rifampicin, Pirazinamid, dan Ethambutol setiap hari. Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan dalam 3 kali seminggu.

    Kategori 3 (2HRZ/4H3R3)

      Tahap intensif diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ) yang diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan yang berikan 3 kali seminggu (4H3R3). Obat ini diberikan kepada penderita baru BTA negatif rontgen positif dan penderita ekstra paru ringan.

      Untuk pengobatan TBC ini termasuk obat keras atau banyak memiliki efek samping. Jika mengonsumsi obat dan terkena efek samping segera konsultasi ke dokter. Jangan langsung di stop obatnya karena kuman akan kebal yang berdampak dengan pengobatan lebih panjang dan pengobatannya mengulang dari awal.

      Dukungan keluarga berperan penting untuk jalannya pengobatan sebagai strategi yang paling efektif untuk mengontrol atau mengingatkan meminum obat secara teratur dan memberikan semangat agar tetap rajin berobat sampai dinyatakan sembuh oleh dokter. Jika tidak adanya dukungan keluarga dan tidak ada motivasi keluarga khususnya PMO (Pengawas Minum Obat) maka banyak pasien TBC mengalami kegagalan yang masih dijalani di Fasilitas Kesehatan.

      Kementerian Kesehatan memberi perhatian khusus karena jika pengobatan TBC tidak dilakukan dengan tepat dan cepat maka kuman-kuman TBC akan menjadi kebal terhadap pengobatan dan membutuhkan obat yang lebih kuat yang biasa disebut Tuberculosis Multi-drug Resistant (TB MDR) atau Tuberculosis Extensively-drugResistand (TB XDR). Karakteristik responden mempengaruhi terjadinya MDR TB adalah dukungan keluarga, pengetahuan, usia, dan akses ke Fasilitas Kesehatan. Tidak patuh minum obat, adanya Riwayat pengobatan, tidak aktif minum obat, efek samping obat dan adanya komorbiditas merupakan faktor resiko terjadinya MDR-TB. Pasien TB yang memiliki faktor resiko perlu adanya edukasi yang lebih komprehensif dan pengawasan minum obat secara lebih ketat.

      Kepatuhan dalam minum obat harus dilakukan sesuai indikator regimen terapi obat yaitu tepat dosis, tepat frekuensi, tepat interval, tepat waktu minum obat dan tepat durasi terapi. Obat tidak hanya diminum saja tetapi harus memperhatikan sifat karakteristik obat agar obat memberikan menfaat maksimal untuk mematikan basil tahan asam sebagai penyebab penyakit tuberkulosis.

      Gaya hidup sehat dan pencegahan TBC

      1. Makan-makanan yang bergizi dan seimbang
      2. Membuka ventilasi rumah dalam keadaan terbuka dan mendapat cukup sinar matahari
      3. Berjemur disinar matahari pagi supaya kuman cepat mati
      4. Olahraga secara teratur
      5. Hindari merokok
      6. Tidak boleh stress, TBC penyakit yang ada obatnya dan bisa disembuhkan. Harus optimis untuk sembuh. (Bsm).