Opini  

19% Tarif AS: Ancaman atau Kesempatan?

Impor Indonesia ke Amerika Serikat (ILUSTRASI)

Oleh: Febrian Satya Reyhanata, Peneliti Mahasiswa Pusat Kajian Konstitusi, Perundang-undangan, dan Demokrasi Fakultas Hukum UNESA

MEMOX.CO.ID – Ketika Amerika Serikat kembali mengambil langkah proteksionis dengan menetapkan tarif impor sebesar 19% terhadap sejumlah produk dari negara-negara mitranya, termasuk Indonesia, banyak pihak di dalam negeri mulai khawatir. Langkah sepihak ini dianggap membahayakan kelangsungan ekspor nasional dan bisa menjadi pukulan telak bagi sektor industri yang menggantungkan nasib pada pasar luar negeri. Namun, saya berpendapat, terlalu naif jika kita hanya melihat kebijakan tarif 19% AS ini sebagai ancaman semata. Ini justru bisa menjadi momentum buat menyadarkan kita bahwa yang kita butuhkan adalah memperkuat kedaulatan ekonomi Indonesia, alih-alih terus bergantung pada pasar luar.

Tarif 19% bukan sekadar angka. Ia mencerminkan arah kebijakan ekonomi global yang semakin proteksionis, di tengah ketegangan geopolitik dan persaingan teknologi antara negaranegara besar. Sudah menjadi takdir yang tak menyenangkan, namun kerap kali sulit dihindari, bahwa negara berkembang seperti Indonesia selalu menjadi sasaran empuk tarik-menarik kepentingan ekonomi dan geopolitik negara-negara besar. Kita harus menyadari posisi ini dan bergerak lebih lincah. Dalam kondisi seperti ini, negara berkembang seperti Indonesia Seringkali menjadi korban dari tarik-menarik kepentingan negara maju. Langkah AS jelas berdampak pada ekspor Indonesia. Sektor-sektor strategis seperti elektronik, yang ekspor peralatannya ke AS mencapai US$4,83 miliar pada tahun 2024, dan tekstil (termasuk pakaian dan alas kaki) yang nilai ekspornya ke AS tercatat sekitar US$1,85 miliar pada Kuartal I 2025, serta produk pertanian, berpotensi besar kehilangan daya saing di pasar Amerika. Tapi lebih dari itu, pertanyaan krusialnya sekarang adalah seberapa kokoh kedaulatan ekonomi kita?. Kebijakan unilateral seperti tarif 19% secara sepihak ini adalah ujian nyata, dan jujur saja, saya ragu bahwa kita sudah siap sepenuhnya menghadapi guncangan seperti ini tanpa strategi yang lebih konkret.

Dalam situasi seperti ini, mengeluh atau sekadar mengirim nota diplomatik sudah bukan zamannya lagi. Pemerintah wajib, dan menurut saya, harus segera menunjukkan taringnya dengan langkah-langkah konkret dan berani untuk melindungi kepentingan nasional. Keterlambatan hanya akan memperparah keadaan. Undang-Undang Perdagangan, UndangUndang Perjanjian Internasional, serta berbagai regulasi turunan sebenarnya telah menyediakan ruang gerak bagi pemerintah untuk merespons. Misalnya, pemerintah bisa mempertimbangkan langkah balasan dalam bentuk tarif terhadap produk AS, sebagaimana dilakukan Uni Eropa dan Tiongkok. Atau mengambil jalur diplomatik melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk menggugat kebijakan ini. Bahkan secara administratif, pemerintah juga bisa memberikan insentif ekspor, memperkuat sektor terdampak, dan memperluas pasar ke negara-negara mitra lainnya. Namun di balik semua kerugian jangka pendek, kebijakan tarif ini adalah cermin yang menyakitkan tetapi penting untuk kita. Ini menunjukkan bahwa betapa rapuhnya fondasi ekonomi kita yang terlalu bergantung pada ekspor bahan mentah dan pasar eksternal.

Sebuah pengakuan pahit yang harus kita telan bahwa kita terlalu lama terlena. Ketergantungan jangka panjang pada ekspor bahan mentah atau produk berdaya saing rendah dan minimnya pembangunan ketahanan ekonomi dalam negeri kini berbalik menjadi bumerang yang mematikan. Ini bukan lagi pilihan, tapi keharusan. Konsolidasi ekonomi nasional adalah satusatunya jalan untuk menghadapi hal seperti ini. Saya mendesak pemerintah untuk serius mendorong hilirisasi industri dan memperkuat UMKM agar mandiri. Tarif AS ini sejatinya adalah kesempatan berharga bagi kita untuk mendiversifikasi pasar ke negara-negara Global South yang selama ini terabaikan.

Saya percaya, kebijakan luar negeri kita harus berubah total. Tidak bisa lagi reaktif dan sekadar simbolis. Kita butuh diplomasi yang proaktif, progresif, dan berani. Sudah saatnya negaranegara berkembang seperti kita bersatu membentuk blok solidaritas di WTO dan G20 untuk menuntut keadilan dari praktik diskriminatif negara-negara besar. Sebagai kekuatan utama ASEAN, Indonesia punya modal besar untuk menjadi pemain kunci di tengah ketegangan global ini. Saya percaya, tekanan tarif 19% dari AS bisa kita manfaatkan sebagai alat diplomatik untuk mendorong negosiasi ulang perjanjian perdagangan yang lebih adil

Ya, kebijakan tarif 19% dari AS memang mengkhawatirkan. Namun, yang jauh lebih penting adalah bagaimana kita meresponsnya. Apakah kita hanya akan meratapi kerugian, atau berani mengambil langkah strategis untuk benar-benar berdikari? Dalam politik ekonomi global, negara yang kuat bukan yang punya pasar besar, tapi yang mampu mempertahankan martabatnya ketika dihadapkan pada tekanan. Menurut saya, Indonesia kini di persimpangan jalan yang krusial. Kebijakan tarif ini bisa menjadi ancaman yang memperlemah, atau kesempatan untuk bangkit lebih kuat. Masa depan ada di tangan pemerintah sebagai pemegang mandat rakyat, tolong jangan sia-siakan kesempatan ini!. (*)