Opini  

Ironi Diplomasi Prabowo: Empati yang Salah Alamat, Rakyat yang Terpinggirkan

Prabowo Subianto berpidato menegaskan dukungannya untuk Palestina

MEMOX.CO.ID – Pernyataan Prabowo Subianto soal kesiapan Indonesia mengevakuasi warga Palestina dari Gaza ke Indonesia menimbulkan kehebohan, bukan pujian. Meski dibungkus dengan semangat kemanusiaan dan diplomasi internasional, langkah ini menyimpan ironi yang menyakitkan: ketika negara lebih sigap membuka pintu bagi pengungsi asing, namun masih gagap menanggapi jeritan rakyatnya sendiri.

Ini bukan soal anti-Palestina. Ini soal prioritas, transparansi, dan konsistensi kebijakan. Indonesia punya sejarah panjang mendukung perjuangan rakyat Palestina, dan itu patut diapresiasi. Namun, ketika Presiden terpilih berbicara soal evakuasi massal warga asing tanpa keterlibatan publik, tanpa diskusi kebijakan domestik yang matang, maka ini bukan lagi sekadar diplomasi—ini adalah intermestik yang serampangan.

Prabowo dalam forum internasional menyatakan, “Kami siap membantu. Kami siap menerima mereka jika perlu.” Namun, apakah rakyat Indonesia juga siap? Apakah infrastruktur sosial, ekonomi, dan keamanan dalam negeri sudah dikonsultasikan? Atau ini hanya langkah pencitraan global yang menjual empati rakyat demi posisi tawar internasional?

Dan yang lebih krusial—apakah pemerintah menyadari bahwa pengungsian warga Palestina secara besar-besaran justru bisa menjadi hadiah strategis bagi Israel? Dengan mengosongkan Gaza atau wilayah Palestina lainnya dari rakyatnya sendiri, maka tanah Palestina akan lebih mudah diklaim dan dikuasai secara de facto oleh Israel. Jika tidak ada rakyat, maka tidak ada negara. Maka, pengungsian ini—sekalipun berniat baik—bisa menjadi bagian dari strategi pemutihan etnis (ethnic cleansing) yang telah lama dituding dilakukan oleh Israel.

Kita harus jujur, mengungsikan warga Palestina bukan solusi jangka panjang. Itu hanya memindahkan penderitaan dari satu wilayah konflik ke wilayah asing tanpa jaminan masa depan yang layak. Palestina tidak butuh tempat pelarian, mereka butuh tanah air yang diakui dan dilindungi.

Di saat yang sama, lebih dari 70 juta rakyat Indonesia—hampir sepertiga populasi—masih tergolong rentan secara ekonomi, dan sekitar 26 juta di antaranya hidup dalam garis kemiskinan absolut. Mereka berjuang memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pendidikan, dan layanan kesehatan. Namun, Pemerintah justru siap menampung ribuan pengungsi asing? Ini adalah bentuk intermestik yang terputus dari realitas domestik. Kebijakan luar negeri, betapapun mulianya, tidak boleh menginjak kepentingan rakyat sendiri.

Intermestik bukan hanya tentang memainkan diplomasi moral di panggung dunia, melainkan media untuk menyeimbangkan antara tanggung jawab internasional dan kepentingan nasional. Jika pemerintah ingin membantu Palestina, maka bantu mereka bertahan di tanah mereka sendiri, dengan segala bentuk bantuan yang konsisten seperti pengiriman logistik kemanusiaan, dukungan diplomatik di forum internasional, pembangunan fasilitas kesehatan dan pendidikan darurat, penguatan peran lembaga-lembaga kemanusiaan di wilayah konflik, serta bantuan pengiriman pasukan pertahanan dan alutsista yang gencar. Bukan malah membantu mengosongkan wilayahnya. Sebab tanpa rakyat, Palestina hanya tinggal nama di peta.(*)

Penulis: Nidiya Erlida Agustina Cahyani, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Prodi Ilmu Pemerintahan