Surabaya, MEMOX.CO.ID – Gerakan Pemuda Ansor Jawa Timur (Jatim) pertanyakan independensi Komisi Pemilihan Umum (KPU), usai mengeluarkan surat keputusan (SK) KPU RI mengenai akan gagalnya dua kader Ansor Jatim dilantik menjadi anggota DPR RI pada 1 Oktober 2024 mendatang.
Dua kader Ansor itu bakal batal dilantik lantaran Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memecatnya dari keanggotaan. Sehingga KPU mengeluarkan SK dengan mengganti Sahabat Ach Ghufron Sirod, Waketum PP GP Ansor Jatim dan Sahabat Irsyad Yusuf Kasatkorwil Banser Jatim.
Ketua GP Ansor Jatim Musaffa’ Safril mengatakan, saat ini, KPU sudah mengeluarkan SK dengan mengganti keduanya. Sehingga kedua kader Ansor tersebut bakal batal dilantik.
“KPU ini kan memiliki kewenangan untuk atau tidak melantik anggota dewan terpilih pada Pemilihan Umum (Pemilu) 14 Februari lalu jika terbukti adanya pelanggaran hukum yang jelas dan terukur,” kata Safril dalam rilisnya yang diterima wartawan Memo X, Minggu (22/9/2024).
“Nah ini tidak ada, tapi malah mengambil keputusan berdasarkan keputusan internal partai,” lanjutnya.
Lantas, independensi KPU dalam mengambil keputusan dan menegakkan prinsip-prinsip demokrasi yang berkeadilan di mana?. Maka dengan demikian, Ansor Jatim perlu merespons keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU-RI) yang mengganti dua kader terbaiknya sebagai Caleg Terpilih DPR-RI 2024-2029.
“Dalam hal ini, kami menekankan agar KPU benar-benar mandiri dan bebas dari intervensi partai politik (Parpol) dalam mengeluarkan keputusan,” terangnya.
Lebih lanjut Safril menambahkan, sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang independen, sebenarnya KPU memiliki peran krusial dalam menjaga integritas dan netralitas proses demokrasi. Namun, apa yang dilakukan saat ini (tidak melantik), menimbulkan pertanyaan serius mengenai sejauh mana independensi KPU.
“Sejauh mana independensi KPU dari tekanan eksternal, khususnya dari partai politik. Keputusan semacam ini perlu dipertimbangkan secara hati-hati agar tidak merusak kepercayaan publik terhadap KPU sebagai penjaga demokrasi,” jelasnya.
Jika partai politik dapat dengan mudah memecat seorang calon legislatif yang telah dipilih oleh rakyat dan mencegah pelantikannya, maka hal ini menjadi ancaman serius bagi demokrasi di Indonesia. Tindakan semacam itu membuka peluang bagi partai untuk menggunakan pemecatan sebagai alat kontrol otoriter terhadap kadernya, tanpa memperhitungkan aspirasi rakyat yang telah memilih mereka.
“Dengan begitu, kondisi ini tidak hanya merusak prinsip representasi rakyat, tetapi juga menempatkan demokrasi kita dalam bahaya, di mana kekuasaan partai politik dapat mengabaikan mandat yang telah diberikan oleh pemilih,” pungkas Safril.